Cerpen: "Helen"

November 21, 2018
Oleh: Reo P  a.k.a. Reo_Pouzoa


Cerpen: "Helen"
***
Udara di tempat itu terasa dingin. Dan juga berkabut. Tidak heran, inilah yang akan kau rasakan saat berada di tengah sebuah danau pada dini hari. Gadis itu menyesal karena tidak membawa jaketnya ketika berangkat tadi.

"Dingin sekali disini," pikir gadis itu.

Sudah lama sejak terakhir kalinya mereka bisa bertemu. Fred—dia sangat sibuk dengan pekerjaannya. Sulit sekali bagi mereka untuk dapat bertatap wajah. Meski begitu, mereka tetap saling mencintai, satu sama lain. Selalu

Perahu itu bergoyang ke kanan dan kiri setiap kali Fred mengayunkan dayungnya. Sebelah tangan Helen mencengkeram erat pinggiran perahu. Jujur saja, menaiki perahu seperti ini membuatnya takut: ia tidak bisa berenang.

Air di danau itu jernih. Kau bisa dengan mudah melihat dasar danau dari permukaan di siang hari. Namun, saat ini masih gelap. Begitu juga air itu: gelap. Setiap kali Helen melongokkan kepalanya kesamping perahu untuk melihat ke dalam air, dia tidak bisa melihat apa-apa. Tetapi perasaan itu tidak bisa hilang. Perasaan dimana seperti ada sesuatu yang terus mengamati mereka dari bawah sana. 
Selalu

Gadis itu membenarkan posisi duduknya. Ia melihat ke arah Fred yang terus mendayung perahu itu. Ia duduk membelakangi arah majunya perahu, sementara Helen duduk di depannya. Cahaya dari lentera yang diletakkan di antara mereka berdua memantul di wajah Fred yang basah karena keringat.

"Kemana kita akan pergi?" tanya gadis itu.
Fred tersenyum. "Tunggu saja,"

Helen melihat ke samping. Tangannya terus memainkan ujung-ujung rambutnya yang panjang.
Helen sudah melakukan sebaik yang ia bisa.

Tangannya berkeringat karena merasa gugup. Kemanapun ia memandang, di sana yang terlihat hanyalah kabut tebal. Benar-benar tebal. Bahkan dermaga, tempat dimana mereka tadi menaiki perahu itu, juga sudah tidak terlihat.

Apakah aku terlihat cantik? , tanya Helen dalam hati.

Dia tidak terbiasa bangun sepagi itu. Tapi, karena Fred yang memintanya, ia tidak bisa menolak. Dia berdandan secantik yang ia bisa. Ia mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. Ia menyelinap keluar dari rumah. Dia tidak ingin orang di rumahnya ada yang tahu, sehingga ia sangat berhati-hati. Terutama Papa. Dia selalu saja melarang mereka berdua untuk bertemu.
Selalu

Setelah menyelinap melewati pagar rumah, Helen langsung menuju ke danau. Langkahnya ia jaga—tidak lambat, tetapi juga tidak terlalu cepat—agar tidak terlalu banyak mengeluarkan keringat. Ia tidak ingin dandanannya menjadi rusak. Beberapa hari yang lalu, Fred memintanya untuk bertemu di dermaga hari ini. Akhirnya kami bisa bertemu juga, pikir gadis itu. Oleh karena itu, dia harus berpenampilan sebaik yang ia bisa.

Ketika ia sampai di dermaga, ia melihat Fred yang sedang berdiri di samping sebuah perahu. Helen memperlambat langkahnya, dan mendekatinya perlahan. Pria itu mengenakan jaket, dan di masing-masing tangannya terpasang sarung tangan. Ia memandang ke arah danau. Ekspresinya terlihat sendu. Ia lalu menoleh ke arah Helen yang sudah berdiri di sebelahnya, dan langsung memeluknya. Mereka berciuman, begitu mesra.
Selalu

"Apakah kita belum sampai juga?" tanya Helen.
"Belum, sebentar lagi, sayang," jawab Fred.

Helen kembali memandang ke arah Fred yang masih mendayung. Mata mereka sempat bertemu. Tetapi, Fred kemudian mengalihkan pandangannya. Ia menundukkan kepalanya dan melihat ke arah lentera. Ekspresinya kembali muram seperti ketika ia sedang berdiri di dermaga tadi.

Apakah dia marah terhadapku? , pikir Helen.
Gadis itu memandangi kedua lengannya, kemudian menuruni bajunya.
Apakah aku tidak cantik? , pikirnya.


Apakah dia membenciku?
Karena aku tidak secantik dulu mungkin?
Apakah dia...
...kecewa?


Helen mencoba mencari topik pembicaraan. Suasananya jadi terasa begitu canggung.
"Bagaimana kabar keluargamu?" tanya Helen.
"Mereka baik," jawab Fred. "Bagaimana dengan keluargamu?"
"Mereka juga baik-baik saja,"

Keheningan kembali meliputi mereka berdua. Tidak ada suara lain yang terdengar selain suara dayung yang menghantam permukaan air berulang kali.
"Kita belum sampai?"
"Sebentar lagi,"
Fred mengatakannya dengan suara lirih. Dan juga terdengar sedikit bergetar. Ada sesuatu yang tidak beres.

Apakah Fred... marah? Helen mencoba mengingat-ingat sesuatu. Siapa tahu dia telah berbuat hal yang menyinggung perasaan Fred. Apakah ini soal mobil Fred yang tidak sengaja ia goreskan beberapa bulan yang lalu? Tidak, sepertinya tidak.
Fred bukanlah seorang laki-laki pendendam. Dia jauh lebih baik daripada itu.
"Masih belum juga?"
"Sebentar lagi,"

Ya, terdengar jelas bahwa suara Fred bergetar. Helen harus meminta maaf kepadanya. Ia tidak ingin membuat Fred sedih ataupun marah. Sekalipun tidak pernah. Karena, mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Dan seharusnya tetap seperti itu.

"Fred, dengarkan aku," ujar Helen. "Jika aku memiliki kesalahan kepadamu, aku minta maaf,"

Kini suara Helenlah yang bergetar. Fred hanya membalasnya dengan senyuman. Tidak menjawab sepatah katapun. Helen semakin merasa takut. Dia tidak tahu apa yang dipikirkan kekasihnya itu. Dia tidak ingin membuat Fred merasa kecewa.
Selalu

"Kita masih belum sampai?"
Apapun itu—apapun kesalahan yang telah diperbuatnya, harus segera ia akui, dan segera memintakan maaf kepada Fred. Tapi percuma, gadis itu tidak ingat kesalahan yang telah ia lakukan kepada kekasihnya itu.

Apakah ini karena Helen yang akhir-akhir ini sering merepotkan Fred? Ia seringkali menelepon Fred ketika ia sedang bekerja. Selalu meminta sesuatu. Dan selalu berbeda-beda setiap harinya. Merepotkan.
Selalu.


Selalu, Helen,
Selalu...


"Belum sampai juga?"
Suaranya jauh lebih bergetar dari sebelumnya. Ia merasakan kesedihan seperti mencakar hatinya, lalu naik ke tenggorokan. Apakah ini karena Helen yang mendadak muntah berkali-kali saat terakhir kali mereka berjumpa?

"Belum sampai juga?"
Kini suaranya terdengar lirih, tak bertenaga. Hampir seperti tidak terdengar satu katapun yang keluar dari mulutnya. Air mata mulai menetes menuruni wajahnya. 

Perahu berhenti melaju. Fred melihat ke arah Helen tepat di kedua matanya. Ia lalu menunduk perlahan, menarik nafas.

"Tidak, Fred..." rengek Helen. "Jangan lakukan ini, kumohon..."
Seolah tidak mendengarnya, Fred bertanya: "Siapa saja yang sudah kau beri tahu?"
"Tidak ada, Fred, aku tidak memberitahu siapapun," jawab Helen sambil tersedu. "Bukankah kita sudah berjanji untuk terus bersama?"
Fred menaikkan kepalanya. Kemudian ia membuka kedua matanya yang terpejam. Sorot matanya seperti orang mati: kosong.
"Maafkan aku,"

Kedua tangan Fred meraih Helen. Tubuh Helen menegang. Ia tidak melawan. Kekuatannya seperti hilang seluruhnya. Air matanya terus keluar tanpa henti. Kemudian Fred berdiri, dan melemparkan Helen ke arah danau. Gadis itu tidak bisa berenang. Pun seandainya bisa, dia akan tetap tenggelam. Seluruh tenaganya benar-benar habis untuk bisa bergerak.

Tubuhnya turun menyusuri air danau. Nafasnya terasa sesak. Sekarang ia dapat melihat ke arah luar. Ke arah udara di langit yang tertutup kabut. Ke arah Fred yang masih berdiri di atas perahunya. Ia melihat bibir Fred yang terlihat bergerak-gerak mengatakan sesuatu. Helen tidak dapat mendengarnya.

Akhirnya tubuh Helen membentur dasar danau. Pandangannya mulai redup dan dadanya terasa semakin sesak. Yang ia inginkan kini hanyalah menutup matanya. Dia tidak ingin lagi naik ke atas sana.

Kesadarannya mulai kabur. Dan sesaat sebelum terpejam, matanya menangkap sebuah benda yang terdapat di sebelahnya. Benda itu terlihat cukup besar, sebesar kepala Helen.

Sebuah batu. Terukir nama Helen di batu itu.

***

Share this :

Latest
Previous
Next Post »
0 Komentar

berkomentarlah yang baik