Oleh: Reo P a.k.a. Reo_Pouzoa
***
Udara di tempat itu
terasa dingin. Dan juga berkabut. Tidak heran, inilah yang akan kau
rasakan saat berada di tengah sebuah danau pada dini hari. Gadis itu
menyesal karena tidak membawa jaketnya ketika berangkat tadi.
"Dingin sekali disini," pikir gadis itu.
Sudah lama sejak
terakhir kalinya mereka bisa bertemu. Fred—dia sangat sibuk dengan
pekerjaannya. Sulit sekali bagi mereka untuk dapat bertatap wajah. Meski
begitu, mereka tetap saling mencintai, satu sama lain. Selalu
Perahu itu bergoyang ke
kanan dan kiri setiap kali Fred mengayunkan dayungnya. Sebelah tangan
Helen mencengkeram erat pinggiran perahu. Jujur saja, menaiki perahu
seperti ini membuatnya takut: ia tidak bisa berenang.
Air di danau itu jernih.
Kau bisa dengan mudah melihat dasar danau dari permukaan di siang hari.
Namun, saat ini masih gelap. Begitu juga air itu: gelap. Setiap kali
Helen melongokkan kepalanya kesamping perahu untuk melihat ke dalam air,
dia tidak bisa melihat apa-apa. Tetapi perasaan itu tidak bisa hilang.
Perasaan dimana seperti ada sesuatu yang terus mengamati mereka dari
bawah sana.
Selalu
Selalu
Gadis itu membenarkan
posisi duduknya. Ia melihat ke arah Fred yang terus mendayung perahu
itu. Ia duduk membelakangi arah majunya perahu, sementara Helen duduk di
depannya. Cahaya dari lentera yang diletakkan di antara mereka berdua
memantul di wajah Fred yang basah karena keringat.
"Kemana kita akan pergi?" tanya gadis itu.
Fred tersenyum. "Tunggu saja,"
Helen melihat ke samping. Tangannya terus memainkan ujung-ujung rambutnya yang panjang.
Helen sudah melakukan sebaik yang ia bisa.
Tangannya berkeringat
karena merasa gugup. Kemanapun ia memandang, di sana yang terlihat
hanyalah kabut tebal. Benar-benar tebal. Bahkan dermaga, tempat dimana
mereka tadi menaiki perahu itu, juga sudah tidak terlihat.
Apakah aku terlihat cantik? , tanya Helen dalam hati.
Dia tidak terbiasa
bangun sepagi itu. Tapi, karena Fred yang memintanya, ia tidak bisa
menolak. Dia berdandan secantik yang ia bisa. Ia mengenakan pakaian
terbaik yang ia miliki. Ia menyelinap keluar dari rumah. Dia tidak ingin
orang di rumahnya ada yang tahu, sehingga ia sangat berhati-hati.
Terutama Papa. Dia selalu saja melarang mereka berdua untuk bertemu.
Selalu
Setelah menyelinap
melewati pagar rumah, Helen langsung menuju ke danau. Langkahnya ia
jaga—tidak lambat, tetapi juga tidak terlalu cepat—agar tidak terlalu
banyak mengeluarkan keringat. Ia tidak ingin dandanannya menjadi rusak.
Beberapa hari yang lalu, Fred memintanya untuk bertemu di dermaga hari
ini. Akhirnya kami bisa bertemu juga, pikir gadis itu. Oleh karena itu, dia harus berpenampilan sebaik yang ia bisa.
Ketika ia sampai di
dermaga, ia melihat Fred yang sedang berdiri di samping sebuah perahu.
Helen memperlambat langkahnya, dan mendekatinya perlahan. Pria itu
mengenakan jaket, dan di masing-masing tangannya terpasang sarung
tangan. Ia memandang ke arah danau. Ekspresinya terlihat sendu. Ia lalu
menoleh ke arah Helen yang sudah berdiri di sebelahnya, dan langsung
memeluknya. Mereka berciuman, begitu mesra.
Selalu
"Apakah kita belum sampai juga?" tanya Helen.
"Belum, sebentar lagi, sayang," jawab Fred.
Helen kembali memandang
ke arah Fred yang masih mendayung. Mata mereka sempat bertemu. Tetapi,
Fred kemudian mengalihkan pandangannya. Ia menundukkan kepalanya dan
melihat ke arah lentera. Ekspresinya kembali muram seperti ketika ia
sedang berdiri di dermaga tadi.
Apakah dia marah terhadapku? , pikir Helen.
Gadis itu memandangi kedua lengannya, kemudian menuruni bajunya.
Apakah aku tidak cantik? , pikirnya.
Apakah dia membenciku?
Karena aku tidak secantik dulu mungkin?
Apakah dia...
...kecewa?
Helen mencoba mencari topik pembicaraan. Suasananya jadi terasa begitu canggung.
"Bagaimana kabar keluargamu?" tanya Helen.
"Mereka baik," jawab Fred. "Bagaimana dengan keluargamu?"
"Mereka juga baik-baik saja,"
Keheningan kembali
meliputi mereka berdua. Tidak ada suara lain yang terdengar selain suara
dayung yang menghantam permukaan air berulang kali.
"Kita belum sampai?"
"Sebentar lagi,"
Fred mengatakannya dengan suara lirih. Dan juga terdengar sedikit bergetar. Ada sesuatu yang tidak beres.
Apakah Fred... marah?
Helen mencoba mengingat-ingat sesuatu. Siapa tahu dia telah berbuat hal
yang menyinggung perasaan Fred. Apakah ini soal mobil Fred yang tidak
sengaja ia goreskan beberapa bulan yang lalu? Tidak, sepertinya tidak.
Fred bukanlah seorang laki-laki pendendam. Dia jauh lebih baik daripada itu.
"Masih belum juga?"
"Sebentar lagi,"
Ya, terdengar jelas
bahwa suara Fred bergetar. Helen harus meminta maaf kepadanya. Ia tidak
ingin membuat Fred sedih ataupun marah. Sekalipun tidak pernah. Karena,
mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Dan seharusnya
tetap seperti itu.
"Fred, dengarkan aku," ujar Helen. "Jika aku memiliki kesalahan kepadamu, aku minta maaf,"
Kini suara Helenlah yang
bergetar. Fred hanya membalasnya dengan senyuman. Tidak menjawab
sepatah katapun. Helen semakin merasa takut. Dia tidak tahu apa yang
dipikirkan kekasihnya itu. Dia tidak ingin membuat Fred merasa kecewa.
Selalu
"Kita masih belum sampai?"
Apapun itu—apapun
kesalahan yang telah diperbuatnya, harus segera ia akui, dan segera
memintakan maaf kepada Fred. Tapi percuma, gadis itu tidak ingat
kesalahan yang telah ia lakukan kepada kekasihnya itu.
Apakah ini karena Helen
yang akhir-akhir ini sering merepotkan Fred? Ia seringkali menelepon
Fred ketika ia sedang bekerja. Selalu meminta sesuatu. Dan selalu
berbeda-beda setiap harinya. Merepotkan.
Selalu.
Selalu, Helen,
Selalu...
"Belum sampai juga?"
Suaranya jauh lebih
bergetar dari sebelumnya. Ia merasakan kesedihan seperti mencakar
hatinya, lalu naik ke tenggorokan. Apakah ini karena Helen yang mendadak
muntah berkali-kali saat terakhir kali mereka berjumpa?
"Belum sampai juga?"
Kini suaranya terdengar
lirih, tak bertenaga. Hampir seperti tidak terdengar satu katapun yang
keluar dari mulutnya. Air mata mulai menetes menuruni wajahnya.
Perahu berhenti melaju. Fred melihat ke arah Helen tepat di kedua matanya. Ia lalu menunduk perlahan, menarik nafas.
"Tidak, Fred..." rengek Helen. "Jangan lakukan ini, kumohon..."
Seolah tidak mendengarnya, Fred bertanya: "Siapa saja yang sudah kau beri tahu?"
"Tidak ada, Fred, aku
tidak memberitahu siapapun," jawab Helen sambil tersedu. "Bukankah kita
sudah berjanji untuk terus bersama?"
Fred menaikkan kepalanya. Kemudian ia membuka kedua matanya yang terpejam. Sorot matanya seperti orang mati: kosong.
"Maafkan aku,"
Kedua tangan Fred
meraih Helen. Tubuh Helen menegang. Ia tidak melawan. Kekuatannya
seperti hilang seluruhnya. Air matanya terus keluar tanpa henti.
Kemudian Fred berdiri, dan melemparkan Helen ke arah danau. Gadis itu
tidak bisa berenang. Pun seandainya bisa, dia akan tetap tenggelam.
Seluruh tenaganya benar-benar habis untuk bisa bergerak.
Tubuhnya turun
menyusuri air danau. Nafasnya terasa sesak. Sekarang ia dapat melihat ke
arah luar. Ke arah udara di langit yang tertutup kabut. Ke arah Fred
yang masih berdiri di atas perahunya. Ia melihat bibir Fred yang
terlihat bergerak-gerak mengatakan sesuatu. Helen tidak dapat
mendengarnya.
Akhirnya tubuh Helen
membentur dasar danau. Pandangannya mulai redup dan dadanya terasa
semakin sesak. Yang ia inginkan kini hanyalah menutup matanya. Dia tidak
ingin lagi naik ke atas sana.
Kesadarannya mulai
kabur. Dan sesaat sebelum terpejam, matanya menangkap sebuah benda yang
terdapat di sebelahnya. Benda itu terlihat cukup besar, sebesar kepala
Helen.
Sebuah batu. Terukir nama Helen di batu itu.
***